Kamis, 10 Maret 2016

Tafsir dan Ta'wil Prespektif Para Ulama



TAFSIR DAN TA'WIL 
PRESPEKTIF PARA ULAMA

Ibrahim Karim

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Masalah
Al Qur`an adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dengan media malaikat Jibril as. sebagai petunjuk bagi umat manusia, yang di dalamnya mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafat, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk sosial.
Al-Qu’an memiliki berbagai macam antara lain susunan bahasa yang unik dan mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapapun yang dapat memahami bahasanya walaupun dengan tingkat pemahaman yang berbeda beda[1].
Redaksi ayat-ayat Al-Qur’an tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali pemilik redaksi tersebut yaitu Allah SWT. Hal ini menimbulkan keanekaragaman penafsiran, bahkan para sahabat Nabi yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, tidak jarang berbeda pendapat dan pemahaman tentang maksud-maksud firman Allah yang mereka dengar dan mereka baca[2].
Dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an, ada satu ilmu yang menjadi pokok ilmu yang digunakan untuk mempelajari Al-Qur’an yaitu ilmu tafsir. Seseorang yang hendak mempelajari atau hendak mengetahui makna Al-Qur’an hendaklah ia mempelajari ilmu tafsir terlebih dahulu, karena ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang digunakan untuk mempermudah memahami keterangan dan penjelasan Al-Qur’an[3]. (KBBI, (Edisi ke-4), h. 1373).
Tafsir dan ta’wil merupakan istilah yang populer sejak permulaan islam sampai sekarang. Namun istilah tafsir dan ta’wil telah menimbulkan polemik yang tajam dikalangan para ulama dan berbeda-beda dalam mengungkapkan pengertian keduanya. Oleh karena itu untuk memperjelas apakah tafsir dan ta’wil adalah dua istilah yang berbeda atau ada persamaan diantara keduanya, maka dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana prespektif para ulama tentang tafsir dan ta’wil.
 B.            Rumusan Masalah

Agar pembahasan makalah tentang tafsif dan ta’wil ini tidak melebar dan lebih terfokus, maka penulis akan membatasi permasalahan yang akan dibahas pada rumusan ini adalah :
A.      Tafsir
1.    Apa pengertian dan definisi tafsir serta bagaimana pendapat  para Ulama?
2.    Apa syarat-syarat Mufassir dan Adab Mufassir?
3.    Apa batasan-batasan tafsir?
4.    Bagaimana contoh-contoh tafsir dalam Al-Qur’an?
B.       Ta’wil.
1.    Apa pengertian dan definisi ta’wil serta bagaimana pendapat para ulama?
2.    Apa syarat-syarat penta’wilan ayat-ayat Al-Qur’an?
3.    Bagaiman bentuk-bentuk ta’wil?
C.       Apa perbedaan antara tafsir dan ta’wil?
                                               
D.           Tujuan Penulisan

Dari menjawab pertanyaan-pertanyaan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.        Untuk mengetahui pengertian dan definisi  tafsir, pendapat para ulama didalamnya, syarat-syarat mufassir, batasan-batasan tafsir dan contoh-contoh tafsir dalam Al-Qur’an.
2.        Untuk mengetahui pengertian dan definisi  ta’wil, pendapat para ulama didalamnya, syarat-syarat penta’wilan ayat-ayat Al-Qur’an, dan bentuk-bentuk ta’wil.
3.        Untuk mengetahui perbedaan tafsir dan ta’wil dalam Al-Qur’an.

 BAB II
PEMBAHASAN

A.      Tafsir
1.    Pengertian dan Definisi Tafsir serta Pendapat Para Ulama
Pengertian tafsir secara etimologi ( bahasa )  diambil dari kata  فَسَّرَ  yang berarti menjelaskan dan menyingkap sesuatu yang tertutup. Dalam Lisanul ‘Arab dinyatakan : kata “ at-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup. Sedangkan kata “at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud suatu lafazh yang muskil. Lafat dengan makna ini disebutkan di dalam Al-Qur’an:      وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيراً
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”(Q.S. Al-furqan : 33). Maksudnya, paling baik penjelasan dan perinciannya.

Ayat tersebut sebagai bantahan terhadap orang-orang musyrik mekkah yang sering menyakiti Rasulullah dengan sikap mereka yang meragukan kenabiannya. Mereka menyebut Al-Qur’an sebagai “kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad”[4].
Adapun secara terminologis, para ulama mengemukakan beragam definisi berkaitan dengan tafsir yang saling melengkapi antara satu definisi dengan definisi lainnya. Imam Az-Zarksyi dalam kitabnya, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, juz I hal.13, mendefinisikan tafsir adalah:
علم يفهم بــه كتـــاب اللــــه تعــالى نبيــه محمد صلى الله عليه و سلم وبيــان معــانيه واســأخراج واحكامه وحــكمــه
"ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad Saw, menjelaskan maknanya, serta menguraikan hukum dan hikmahnya”[5].

Abu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai, “ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh Al-Qur’an, indikator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya, serta makna-makna yang terkandung di dalamnya” [6].







Sedangkan al-Baghdadi memberikan definisi tafsir yakni, “ilmu yang membantu memahami Kitabullah Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW., dengan menggunakan metode tafsir tertentu, dan berlandaskan pada ulum al-lughah al-arabiyah (ilmu-ilmu bahasa arab) yang menjadi bahasa firman Allah dalam Al-Qur’an, serta merinci hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, dengan memperhatikan susunan ayat-ayatnya yang berkaitan akidah, hukum, adab dan sebagainya, kemudian menarik kesimpulan dari ayat-ayat tersebut untuk menjawab berbagai tantangan dan memecah berbagai persoalan hidup yang timbul disetiap masa dan tempat”[7].
Menurut Syekh Al-Jazairi tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dadalah lafadz tersebut, (Ashiddieqy, 1989 : 193 )
Menurut al-Jurjani, kata tafsir menurut bahasa adalah menyikap ( membuka) dan melahirkan sedangkan menurut istilah tafsir adalah menjelaskan makna ayat keadaannya, kisahnya, dan sebab yang karenanya ayat  diturunkan, dengan lafadz yang menunjukkan kepadanya dengan jelas atau terang, ( Muhammad, 1987 : 171 )
Berdasarkan beberapa rumusan tafsir yang dikemukakan para ulama tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tafsir adalah suatu hasil tanggapan dan penalaran manusia untuk menyikapi nilai-nilai samawi yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Hasil aktifitas dan kajiannya para ulama terhadap Al-Qur’an adalah tafsir, sedangkankan pelakunya disebut sebagai Mufassir.

2.    Syarat-syarat Mufassir dan Adab Mufassir
Para ulama menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki setiap mufassir yaitu :
1.      Akidah yang benar. Sebab akidah memiliki pengaruh yang besar terhadap jiwa pemilikny. Akidah yang tidak benar, seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash, tidak jur dalam menyampaikan berita.
2.      Bersih dari hawa nafsu, hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela kepentingan madzhabnya.
3.      Menafsirkan lebih dahulu Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, karena sesuatu yang masih global pada sustu tempat telah terperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas disuatu tempat telah di uraikan di tempat lain.
 4.      Mencari penafsiran dari Sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Al-Qur’an dan penjelasnya. Allah SWT. menyebutkan bahwa sunnah merupakan penjelas bagi Kitab. Firmn Allah dalam Al-Qur’an:
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Keterangan-keterangan (mu'jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.(Q.S. An-Nahl:44).

5.      Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaklah melihat bagaimana pendapat para sahabat. Karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Al-Qur’an, merekalah yang terlibat dalam kondisi ketika Al-Qur’an diturunkan, disamping mereka mempunyai pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang saleh.
6.      Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Al-Qur’an, sunnah, dan pandangan para sahabat, maka sebagian besar ulama, dalam hal ini, merujuk kepada para tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr, Said bin Jubair, Ikrimah maula Ibnu Abbas, ‘Atha bin Abi Rabah, Hasan al-Basri dan para tabi’in yang lainnya, tetapi harus dengan penukilan yang shahih.
7.      Penguasaan bahasa arab yang baik, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab. Pemahaman yang baik terhadap Al-Qur’an amat bergantung pada penguraian mufradat, lafash-lafazh dan pengertian-pengertian yang ditunjukkannya sesuai dengan struktur kalimat.
8.      Pengetahuan tentang prinsp-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, seperti ilmu qira’at, sebab dengan ilmu ini dapat diketahui bagaimana cara mengucapkan (lafazh-lafazh) Al-Qur’an dan ragam bacaan yang diperkenankan.
9.      Pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mengukuhkan suatu makna atas yang lain atau menyimpulkan makna atas yang sejalan dengan nash-nash syariat[8].

Sedangkan Adab Mufassir antara lain : (1) Berniat baik dan berujuan benar, sebab amal perbuatan itubergantung pada niat. (2) Berakhlak Mulia, karena mufassir bagai seorang pendidik. (3) Taat dan amal. Ilmu akan lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya dari pada yang hanya hebab dalam teori dan konsep. (4) Jujur dan teliti dalam Penukilan. (5) Tawaddu dan lemah lembut. (6) Berjiwa Mulia. (7) Berani dalam menyampaikan kebenaran. (8) Bersikap tenang dan Mantap. (9) Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya[9].
Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an menyebutkan syarat-syarat ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir diantaranya adalah [10]:
1.    Bahasa Arab, karena dengan bahasa arab seorang mufassir mengetahui penjelasan, kosa kata suatu lafadz dan maksudnya sesuai dengan objek.
2.    Ilmu Qira’ah, karena dengan ilmu tersebut dapat diketahu cara mengucapkan dan kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qari’ dengan qari’ lainnya.
3.    Ushuluddin, (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Qur’an berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah Ta’ala. Seorang ahli ushul bertugas untuk menta’wilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
4.    Ushul Fiqih, karena dengannya dapat diketahui wajd al-istidlal (segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan Istinbath.
5.    Asbaabun Nuzul, karena dengan ilmu ini dapat diketahui maksud ayat yang sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
6.    An-Nasikh wa al-Mansukh, agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
7.    Ilmu muhibah, yaitu ilmu yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya.
Sebagaimana dalam sebuah hadits disebutkan,
 مَن عَمِلَ بـِــمَا عِــلمٌ وَرثـــه الله علم ما لــم يــعـلم
“siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan menganugerahinya ilmu yang belum ia ketahui”.
           
            Ibnu Abid Dunya menyatakan, “Ilmu Al-Qur’an dan Istinbath darinya merupakan lautan yang tidak bertepi”.

Ilmu-ilmu di atas merupakan alat bagi seorang mufassir. Seorang mufassir memiliki otoritas untuk menjadi mufassir kecuali dengan menguasai ilmu-ilmu tersebut. Siapa saja yang menafsirkan Al-qur’an tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut berarti dia menafsirkan menafsirkan dengan ra’yu yang dilarang. Namun apabila menafsirkan dengan ilmu-ilmu tersebut, maka dia tidak menafsirkan dengan ra’yu yang dilarang.


3.    Batasan-batasan Tafsir
Ibnu Abbas memberikan batasan tafsir terdiri dari empat bagian:
1)        Tafsir yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka
2)        Tafsir yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya.
3)        Tafsir yang tidak diketahui kecuali oleh para Ulama.
4)        Tafsir yang tidak diketahui kecuali Allah. ( Shihab, 1999:77)

4.    Contoh-contoh tafsir dalam Al-Qur’an
Dalam menafsirkan al-qur’an Para sahabat berpegang pada tiga prinsip dasar yaitu:[11]
1.    Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Firman Allah:
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”(Q.S. Al-An’am :103)

Ayat diatas kemudian ditafsirkan oleh ayat yang lain  di dalam (Q.S. Al-Qiyamah :23):

إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ  (“ Kepada Tuhannyalah mereka melihat”.)

2.    Menafsirkan Al-Qur’an dengan As-As-sunnah. Firman Allah:
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ 
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Nikmat yang Banyak”(Q.S. Al-Kautsar : 1)

Ayat di atas dijelaskan berdasarkan Hadits. Dari Anas, ia berkata Rasulullah bersabda, “Al-Kautsar adalah sungai yang diberikan Tuhan kepadaku di surga”. Contoh tafsir 3. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pemahaman dan ijtihad para sahabat diantaranya, dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah. (Q.S. An-Nasr :1)
إِذَا جَاء نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ  (“ Apabila telah datang pertolongan dan kemenangan”).
                Ketika Umar Ibn Khattab bertanya kepada Ibnu Abbas tentang maksud ayat di atas, dijelaskan oleh Ibnu Abbas bahwa: ayat itu menunjukkan tentang ajal Rasulullah yang diinformasikan Allah kepadanya (melalui ayat ini), “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan” –itu adalah tanda-tanda datangnya ajalmu, wahai Muhammad- “Maka bertasbihlah dengan memuji tuhammu dan mohonlah ampunannya-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat.” Lalu kata Umar, “saya tidak mengetahui maksud ayat itu sebelumnya kecuali apa yang kamu katakan itu.”(HR. Bukhari).[12]



Muhammad Abu Shubbah dalam Maktabah As-Sunnah mengatakan bahwa : Tafsir sahabat berdasarkan hukumnya terbagi menjadi dua bagian:
1.    Apabila termasuk perkara yang diluar wilayah akal, misalnya perkara-perkara gaib, asbab an-nuzul, dan sebagainya, maka hukumnya marfu’. Wajib mengambilnya.
2.    Apabila selain itu, yakni perkara yang kembali pada ijtihad para sahabat, maka hukumnya mauquf selama sanadnya tidak bersandar kepada Rasulullah SAW. Sebagian ulama mewajibkan untuk mengambil tafsir sahabat yang mauquf kerena mereka menyaksikan korelasi dan kondisi yang dikhususkan kepada mereka dan tidak dikhususkan kepada selain mereka[13].

B.       Ta’wil

1.    Pengertian dan Definisi  Ta’wil serta pendapat para ulama.

Kata Ta’wil adalah kata yang mengikuti wazan taf’il, yang berasal dari kata al’aul, yang berarti al-ruju’ ( kembali); dengan pengilustrasian bahwa, pentakwilan adalah mengembalikan sebuah lafal terhadap salah satu makna diantara beberapa makna yang dikandung oleh lafal dimaksud[14].
Menurut peristilahan syarah yang dikemukakan oleh ulama usul fiqih, kata ta’wil mempunyai makna yang bereda dengan tafsir dan hanya berkisar pada makna suatu lafazh, bukan lafazh itu sendiri. Maksudnya, apabila terdapat beberapa kemungkinan makna dalam suatu lafazh maka yang diambil adalah makna yang tersembunyi, bukan makna yang dzahir ( yang langsung ditangkap dari lafazh tersebut)[15].
Adapun ulama Salaf mendefinisikan ta’wil sebagai berikut :[16]
a)    Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mushtashfa,
sesungguhnya ta’wil itu adalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersifat ihtimal yang didukung oleh dalil dan menjelaskan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafazh zahir”.
b)   Imam Al- Amidi dalam kitab Al-Ihkam,
“ membawa makna lafazh zhahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”
c)    Kaum Muhadditsin mendefinikan ta’wil, sejalan dengan definisi yang dikemukakan ulama ushul fiqih, yaitu menurut Maznab Khalaf, ta’wil adalah memalingkan lafazh dari zahirnya, karena ada dalil.
d)   Abu Zahra, ta’wil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zahir kepada makna yang lain, tetapi bukan zahirnya.
 Menelaah diantara sekian gagasan ulama dalam memberikan pengertian ta’wil, maka ada beberapa persoalan yang yang menjadi penting. Pertama, dikatakan ta’wil bilamana lafaz yang dijadikan objek kajian mempunyai makna lebih dari satu. Kedua, ada ikhtiar untuk menentukan maksud lafaz yang menjadi objek kajian, diantara sekian makna yang dikandung.
Ash Shiddieqy mengatakan : tiap-tiap lafaz yang menunjukkan kepada suatu makna yang jelas yang diyakini bahwa itulah kehendak Allah, tidak diperlukan ta’wil. Tafsir yang diyakini
hanya diketahui oleh Allah, itulah ijtihad (ta’wil) mereka, itulah yang biasanya dikatakan takwil yaitu mengistinbatkan hukum, mejelaskan yang umum, dan mengkhususkannya. Tiap-tiap lafaz yang mengandung dua makna atau lebih, maka disanalah berlakunya ijtihad para ulama[17].
Dengan demikian, pengertian ta’wil adalah kembali kepada asal usul sesuatu, apakah itu berbentuk perbuatan atau cerita. Kembali ke asal usul dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan signifikansinya, menjadikan ayat menemui akhir pemaknaannya, baik berupa hukum teoritis logis maupun realitas objektif secara langsung dapat di indera. Ketika mentak’wilkannya, dapat menghasilkan hukum yang sesuai dengan akal dan realitas[18].

2.      Syarat-syarat penta’wilan ayat-ayat Al-Qur’an.
Seseorang tidak dapat menggunakan ta’wil tanpa didukung oleh syarat-ayarat tertentu. Al-Syatibi mengemukakan dua syarat pokok bagi pen-ta’wilan ayat-ayat Al-Qur’an yaitu : pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab Kalasik. Bahkan lebih jauh As-Syatibi menegaskan bahwa kata-kata yang bersifat ambigu/musytarak (mempunyai lebih dari satu makna yang kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian teks tersebut selama tidak bertentangan satu sama lain).
Aliran Tafsir Muhammad Abduh mengembangkan lagi syarat pen-ta’wil-an, sehingga ia lebih banyak menggunakan akal, sedangkan faktor kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan makna pen-ta’wil-an dengan kata-kata yang di-ta’wil-kan.[19]
Quraish Shihab, menggarisbawahi bahwa tidaklah tepat men-ta’wilkan suatu ayat, semata-mata berdasarkan pertimbangan akal dan mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat di dalam teks ayat, lebih-lebih bila bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah kebahasaan. Karena hal ini berarti mengabaikan ayat itu sendiri. Disyaratkan pula, bahwa lafaz itu memungkinkan untuk dita’wil karena memiliki jangkauan makna yang luas, ada hal yang mendorong untuk ta’wil ( seperti: bentuk lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara dhoruri. Contonya : suatu hadits menyalahi hadits lain, sedangkan hadits itu ada kemungkinan untuk dita’wilkam, maka hadits itu dita’wilkan dari pada ditolak sama sekali), ta’wil itu harus disandarkan pada dalil dan tidak bertentangan dengan dalil yang ada.[20]

3.    Bentuk-bentuk Ta’wil
Pada prinsipnya para ulama sepakat adanya penggunaan ta’wil. Perbedaan terletak pada kadar penggunaan dan penerimaannya dapat dilihat dari :
a.    Dari segi diterima atau tidaknya suatu ta’wil, ada dua bentuk ta’wil, yaitu :
1)   Ta’wil maqbul yaitu ta’wil yang memenuhi persyaratan seperti dijelaskan di atas.
2)   Ta’wil Mardud atau ditolak, yaitu ta’wil yang hanya didasarkan kepada selera atau dorongann lain dan tidak terpenuhi syarat yang ditentukan.
a.    Dari segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafazd yang dita’wilkan dari makna dzahirnya:
1.    Ta’wil qarib, yaitu ta’wil yang tidak jauh beranjak dari makna dzahirnya, sehingga dengan petunjuk yang sederhana dapat dipahami maksudnya.
2.    Ta’wil ba’id, yaitu pengalihan dari makna suatu lafadz yang begitu jaunya, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil sederhana.

C.      Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
Para ulama berbeda pendapat dan tidak ada kesepakatan dalam sebuah definisi tentang tafsir dan ta’wil. Sehingga sehingga Imam Ibnu Habib al- Naisaburiy berkata :  pada zaman kita sekarang ini, banyak sekali para ahli tafsir yang ketika ditanya tentang perbedaan Tafsir dan Ta’wil, niscaya mereka tidak dapat menjelaskannya.[21]
 Imam Qurthubi mengatakan bahwa: (1) Tafsir adalah penjelasan tentang lafadz. Misalnya, firman Allah, Laa raiba fiihi (tdak ada keraguan di dalamnya) dijelaskan maknanya dengan laa syakka fiihi (tidak ada kebimbangan di dalamnya), Sedangkan ta’wil adalah penjelasan makna yang dimaksud oleh lafadz, seperti firman Allah Laa raiba fiihi dita’wilkan dengan “ tidak ada keraguan di kalangan kaum yang beriman, atau, karena ia sendiri merupakan kebenaran dzat-Nya tidak mungkin dapat diragukan. (2) Tafsir, menerangkan maksud yang ada pada suatu lafadz yang menghilangkan kesamaran arti pada lafdz tersebut, sedangkan ta’wil menerangkan maksud yang ada pada makna yang tidak ditunjukkannya secara zahir tetapi dikandung oleh lafadz tersebut berdasarkan dalil yang mendukungnya.[22]
Para mufassirin telah berselisih tentang makna tafsir dan takwil: Menurut Abu Ubaidah: Tafsir dan Ta’wil satu makna.” Pendapat ini di bantah oleh para ulama yaitu diantaranya Abu Bakar Ibnu Habib an-Naisaburiy. Berbeda dengan Al-Raghif Al-Ashfahani: “Tafsir itu lebih umum dan lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal, sedangkan Ta’wil lebih banyak dipakai mengenai  makna dan susunan kalimat. Sedangkan menurut sebagian ulama mengatakan bahwa “Tafsir menerangkan makna lafazh yang tidak menerima selain dari satu arti. Sedangkan Ta’wil menetapkan makna yang dikehendaki oleh suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna, karena ada dalil-dalil yang menghendakinya, (Muhammad, 1987 : 173 )
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan  bahwa perbedaan tafsir dan Ta’wil yaitu:
1.      Tafsir pada umumnya lebih banyak dipergunakan dalam menerangkan lafazh dan mufradat (kosakata), sedang Ta’wil lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan kalimat.
2.      Tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam Kitabullah karena maknanya telah jelas dan gamblang. Sedang Ta’wil adalah apa yang disimpulkan para ulama.
3.      Tafsir menjelaskan makna suatu ayat berdasarkan makna yang kuat. Sedang Takwil diartikan juga sebagai memalingkan makna suatu lafazh dari makna yang kuat (ar-rajih) ke makna yang kurang kuat (al-marjuh), karena disertai dalil yang menunjukan demikian
4.      Para ulama ada juga yang berpendapat bahwa tafsir adalah penjelasan yang berdasarkan riwayah, dan Ta’wil berdasarkan dirayah, ( Al-Qaththan, 2014 : 413).








Dengan berbagai perbedaan pendapat para ulama berkaitan dengan tafsir dan ta’wil sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka dapat dirangkum dalam sebuah tabel sebagai berikut :
Tabel perbedaan Tafsir dan Ta’wil

Tafsir

Ta’wil


1
Pemakaiannya banyak pada lafadz-lafadz dan mufrodat

1
Pemakaiannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat


2
Kebanyakan jelas diterangkan dalam Al-Qur’an dan Hadits-hadits shohih

2
Kebanyakan diistimbath oleh para ulama


3

Banyak berhubungan dengan riwayah

3
Banyak berhubungan dengan dirayah


4
Biasanya digunakan dalam ayat-ayat muhkamat ( jelas)

4
Biasanya digunakan dalam ayat-ayat mutasyabih

5
Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki

5
Menerangkan hakikat yang dikehendaki


Dari keterangan- keterangan di atas jelaslah bahwa tafsir berdasarkan kepada makna dzahir lafdz harfiah ayat-ayat al-Qur’an. Walaupun ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai makna tafsir dan ta’wil, namun mereka tidak pernah mempersoalkan teks al-Qur’an sebagai Kalam Allah. Kecuali orang-orang kafir dan para filosof-filosof barat yang selalu mempersoalkan kemurnian al-Qur’an.
Kita sebagai orang Islam tidak akan pernah luntur keimanan kita terhadap kemurnian Al-Qur’an dengan berlandaskan kepada Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Hijr : 9
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”



BAB III
PENUTUP
 A.                KESIMPILAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa  “Tafsir” adalah suatu usaha tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyikapi nilai-nilai samawi yang terdapat didalam Al-Qur’an. Sedangkan “Ta’wil” adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafazh itu.

B.                 SARAN

Makalah yang sederhana ini semoga menambah khazanah keilmuan kita. Walaupun disana sini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan.
Semoga makalah sederhana ini ada manfaatnya.


DAFTAR PUSTAKA
  
1.         Abu Syuhbah, Muhammad, 1408 H. KSA. Maktabah Assunnah
2.         Adian Husaini.”Firus Abu Zaid di Indonesia” dalam pengantar: Salahudin, Henri. 2007. Al-Qur’an Dihujat. (Al-Qalam. Jakarta).
3.         Al-Kattani, Abdul Hayyie. “Alqur’an dan Tafsir” dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan (vol. I No. 1 Januari 2005)
4.         Al-Qaththan, Manna Khalil. 2014. Studi Ilmi-Ilmu Qur’an. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
5.         Ash Shiddieqy, Hasbi . 2002. Ilmu-ilmu Al-qur’an.  (Pustaka Riski Putra. Semarang).
6.         Ashiddieqy, Hasbi. 1989 Sejarah  dan Pengantar ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Bulan bintang, jakarta,
7.         As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqan fi Ulum alqur’an. Bab. Ma’rifah Syuruth Al-Mufassir wa Adaabihi E-book. Diakses dari Mauqi’ Umm Al-Kitab li Al Abhats wa Ad-Dirasah Al-Hikturuniyah. www.omelkitab.net.
8.         Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Edisi ke-4).
9.         M. Husain al-Zahabiy. 1961. At-Tafsir wa Al-Mufassirin. (Dar al-Kutub al-Haditsh. Mesir. Jilid I
10.     Muhammad Hasbi.1987. Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Pustaka Rizki Putra, Semarang.
11.     Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, ( Percetakan al-Manar, 1367 H), jilid III,
12.     Nasir Hamid Abu Zaid. 1993. Tektualitas Al-Qur’an”kritik terhadap Ulumul Qur’an”
(LKIS. Yogyakarta).
13.     Rifat Syaiqi Nawawi dan Muhammad Ali Hasan. 1995. Pengantar Ilmu Tafsir, ( Bulan Bintang: Jakarta)
14.     Shihab, M. Quraish, 1999. Membumikan Al-Qur’an. Mizan, Bandung.
15.     ________________, 2007. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. (Mizan. Bandung).


[1] M. Quraish Shihab. 2007. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. (Mizan. Bandung). Hal. 112.
[2] M. Husain al-Zahabiy. 1961. At-Tafsir wa Al-Mufassirin. (Dar al-Kutub al-Haditsh. Mesir. Jilid I). hlm. 59.
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Edisi ke-4). hlm. 1373.
[4] Nasir Hamid Abu Zaid. 1993. Tektualitas Al-Qur’an”kritik terhadap Ulumul Qur’an” (LKIS. Yogyakarta). Hal. 284-285.
[5] Syaikh Manna Al-Qhaththan. 2014. Pengantar studi Ilmu Al-Qur’an, (Puataka Al-Kautsar. Jakarta Timur). Hal. 409.
[6] Idem
[7] Adian Husaini.”Firus Abu Zaid di Indonesia” dalam pengantar: Salahudin, Henri. 2007. Al-Qur’an Dihujat. (Al-Qalam. Jakarta). halm. 48-49.
[8] Syaikh Manna Al-Qhaththan. 2014. Pengantar studi Ilmu Al-Qur’an, (Puataka Al-Kautsar. Jakarta Timur). Hal. 414-117.
[9]  ibid.
[10] As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqan fi Ulum alqur’an. Bab Ma’rifah Syuruth Al-Mufassir wa Adaabihi E-book. Diakses dari Mauqi’ Umm Al-Kitab li Al Abhats wa Ad-Dirasah Al-Hikturuniyah. www.omelkitab.net.
[11] Syaikh Manna Al-Qhaththan. 2014. Pengantar studi Ilmu Al-Qur’an, (Puataka Al-Kautsar. Jakarta Timur). Hal. 422-424.
[12] Syaikh Manna Al-Qhaththan, op.cit, hal.448
[13] Abu Syuhbah, Muhammad, 1408 H. KSA. Maktabah Assunnah
[14] Al-Kattani, Abdul Hayyie. “Alqur’an dan Tafsir” dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan (vol. I No. 1 Januari 2005) hal.101.
[15] Adian Husaini, loc. cit.
[16] Rifat Syaiqi Nawawi dan Muhammad Ali Hasan. 1995. Pengantar Ilmu Tafsir, ( Bulan Bintang: Jakarta). hal.139
[17] Muhammad hasbi Ash Shiddieqy. 2002. Ilmu-ilmu Al-qur’an.  (Pustaka Riski Putra. Semarang). hal.215.
[18] Ibid.
[19]  Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, ( Percetakan al-Manar, 1367 H), jilid III, hal. 95 
[20] M. Quraish Shihab, op.cit. hlm. 138
[21] Idem
[22] Al-Qurthubi, al-Jami’li Ahkamil Qur’an, jilid IV,hlm. 15-16, sebagaimana dikutip oleh Andian Husaini, op.cit.hlm. 46-47