TAFSIR DAN TA'WIL
PRESPEKTIF PARA ULAMA
Ibrahim Karim
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Al Qur`an
adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dengan media
malaikat Jibril as. sebagai petunjuk bagi umat manusia, yang di dalamnya mengandung
hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah,
filsafat, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup
manusia, baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk sosial.
Al-Qu’an
memiliki berbagai macam antara lain susunan bahasa yang unik dan mengandung
makna-makna yang dapat dipahami oleh siapapun yang dapat memahami bahasanya
walaupun dengan tingkat pemahaman yang berbeda beda[1].
Redaksi
ayat-ayat Al-Qur’an tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali
pemilik redaksi tersebut yaitu Allah SWT. Hal ini menimbulkan keanekaragaman
penafsiran, bahkan para sahabat Nabi yang secara umum menyaksikan turunnya
wahyu, mengetahui konteksnya, tidak jarang berbeda pendapat dan pemahaman
tentang maksud-maksud firman Allah yang mereka dengar dan mereka baca[2].
Dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an, ada satu ilmu yang menjadi pokok ilmu
yang digunakan untuk mempelajari Al-Qur’an yaitu ilmu tafsir. Seseorang yang
hendak mempelajari atau hendak mengetahui makna Al-Qur’an hendaklah ia
mempelajari ilmu tafsir terlebih dahulu, karena ilmu tafsir adalah suatu ilmu
yang digunakan untuk mempermudah memahami keterangan dan penjelasan Al-Qur’an[3]. (KBBI,
(Edisi ke-4), h. 1373).
Tafsir dan ta’wil merupakan istilah yang populer sejak permulaan
islam sampai sekarang. Namun istilah tafsir dan ta’wil telah menimbulkan
polemik yang tajam dikalangan para ulama dan berbeda-beda dalam mengungkapkan
pengertian keduanya. Oleh karena itu untuk memperjelas apakah tafsir dan ta’wil
adalah dua istilah yang berbeda atau ada persamaan diantara keduanya, maka
dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana prespektif para ulama tentang
tafsir dan ta’wil.
B.
Rumusan
Masalah
Agar pembahasan makalah tentang
tafsif dan ta’wil ini tidak melebar dan lebih terfokus, maka penulis
akan membatasi permasalahan yang akan dibahas pada rumusan ini adalah :
A.
Tafsir
1.
Apa pengertian dan definisi tafsir serta bagaimana pendapat para Ulama?
2.
Apa syarat-syarat Mufassir dan Adab
Mufassir?
3.
Apa batasan-batasan tafsir?
4.
Bagaimana contoh-contoh tafsir dalam Al-Qur’an?
B.
Ta’wil.
1.
Apa pengertian dan definisi ta’wil
serta bagaimana pendapat para ulama?
2.
Apa syarat-syarat penta’wilan
ayat-ayat Al-Qur’an?
3.
Bagaiman bentuk-bentuk ta’wil?
C.
Apa perbedaan antara tafsir dan ta’wil?
D.
Tujuan
Penulisan
Dari menjawab
pertanyaan-pertanyaan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan
makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui pengertian dan definisi tafsir, pendapat para ulama didalamnya, syarat-syarat
mufassir, batasan-batasan tafsir dan contoh-contoh tafsir dalam Al-Qur’an.
2.
Untuk mengetahui pengertian dan definisi ta’wil, pendapat para ulama
didalamnya, syarat-syarat penta’wilan ayat-ayat Al-Qur’an, dan
bentuk-bentuk ta’wil.
3.
Untuk mengetahui perbedaan tafsir dan ta’wil dalam Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tafsir
1. Pengertian dan Definisi Tafsir serta
Pendapat Para Ulama
Pengertian tafsir
secara etimologi ( bahasa ) diambil dari
kata فَسَّرَ yang berarti menjelaskan
dan menyingkap sesuatu yang tertutup. Dalam Lisanul ‘Arab dinyatakan :
kata “ at-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup. Sedangkan kata
“at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud suatu lafazh yang muskil. Lafat
dengan makna ini disebutkan di dalam Al-Qur’an: وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ
تَفْسِيراً
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu
(membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang
benar dan yang paling baik penjelasannya”(Q.S. Al-furqan : 33). Maksudnya, paling baik penjelasan
dan perinciannya.
Ayat tersebut sebagai bantahan terhadap orang-orang
musyrik mekkah yang sering menyakiti Rasulullah dengan sikap mereka yang
meragukan kenabiannya. Mereka menyebut Al-Qur’an sebagai “kebohongan yang
diada-adakan oleh Muhammad”[4].
Adapun secara terminologis, para ulama mengemukakan
beragam definisi berkaitan dengan tafsir yang saling melengkapi antara satu
definisi dengan definisi lainnya. Imam Az-Zarksyi dalam kitabnya, Al-Burhan
fi ‘Ulum Al-Qur’an, juz I hal.13, mendefinisikan tafsir adalah:
علم يفهم بــه كتـــاب اللــــه تعــالى نبيــه محمد صلى
الله عليه و سلم وبيــان معــانيه واســأخراج واحكامه وحــكمــه
"ilmu untuk memahami
Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad Saw, menjelaskan maknanya,
serta menguraikan hukum dan hikmahnya”[5].
Abu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai, “ilmu yang
membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh Al-Qur’an,
indikator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya, serta makna-makna yang
terkandung di dalamnya” [6].
Sedangkan al-Baghdadi memberikan definisi
tafsir yakni, “ilmu yang membantu memahami Kitabullah Al-Qur’an yang diturunkan
kepada nabi Muhammad SAW., dengan menggunakan metode tafsir tertentu, dan
berlandaskan pada ulum al-lughah al-arabiyah (ilmu-ilmu bahasa arab)
yang menjadi bahasa firman Allah dalam Al-Qur’an, serta merinci hal-hal yang
berkaitan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, dengan memperhatikan susunan ayat-ayatnya
yang berkaitan akidah, hukum, adab dan sebagainya, kemudian menarik kesimpulan
dari ayat-ayat tersebut untuk menjawab berbagai tantangan dan memecah berbagai
persoalan hidup yang timbul disetiap masa dan tempat”[7].
Menurut Syekh
Al-Jazairi tafsir pada hakikatnya
adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan
mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan
mengemukakan salah satu dadalah lafadz tersebut, (Ashiddieqy, 1989 : 193
)
Menurut al-Jurjani, kata tafsir menurut bahasa adalah menyikap ( membuka) dan melahirkan
sedangkan menurut istilah tafsir adalah menjelaskan makna ayat keadaannya,
kisahnya, dan sebab yang karenanya ayat diturunkan, dengan lafadz yang
menunjukkan kepadanya dengan jelas atau terang, ( Muhammad, 1987 : 171 )
Berdasarkan
beberapa rumusan tafsir yang
dikemukakan para ulama tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tafsir adalah
suatu hasil tanggapan dan penalaran manusia untuk menyikapi nilai-nilai samawi
yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Hasil aktifitas dan kajiannya para ulama
terhadap Al-Qur’an
adalah
tafsir, sedangkankan pelakunya disebut sebagai Mufassir.
2. Syarat-syarat Mufassir dan Adab Mufassir
Para ulama menyebutkan
syarat-syarat yang harus dimiliki setiap mufassir yaitu :
1. Akidah yang benar. Sebab
akidah memiliki pengaruh yang besar terhadap jiwa pemilikny. Akidah yang tidak
benar, seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash, tidak jur dalam
menyampaikan berita.
2. Bersih dari hawa nafsu, hawa
nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela kepentingan madzhabnya.
3. Menafsirkan lebih dahulu Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an, karena sesuatu yang masih global pada sustu tempat telah
terperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas disuatu
tempat telah di uraikan di tempat lain.
4.
Mencari penafsiran dari Sunnah, karena sunnah
berfungsi sebagai pensyarah Al-Qur’an dan penjelasnya. Allah SWT. menyebutkan
bahwa sunnah merupakan penjelas bagi Kitab. Firmn Allah dalam Al-Qur’an:
بِالْبَيِّنَاتِ
وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Keterangan-keterangan
(mu'jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan”.(Q.S. An-Nahl:44).
5. Apabila tidak didapatkan
penafsiran dalam sunnah, hendaklah melihat bagaimana pendapat para sahabat.
Karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Al-Qur’an, merekalah yang
terlibat dalam kondisi ketika Al-Qur’an diturunkan, disamping mereka mempunyai
pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang saleh.
6. Apabila tidak ditemukan juga
penafsiran dalam Al-Qur’an, sunnah, dan pandangan para sahabat, maka sebagian
besar ulama, dalam hal ini, merujuk kepada para tabi’in, seperti Mujahid bin
Jabr, Said bin Jubair, Ikrimah maula Ibnu Abbas, ‘Atha bin Abi Rabah,
Hasan al-Basri dan para tabi’in yang lainnya, tetapi harus dengan penukilan
yang shahih.
7. Penguasaan bahasa arab yang
baik, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab. Pemahaman yang baik
terhadap Al-Qur’an amat bergantung pada penguraian mufradat,
lafash-lafazh dan pengertian-pengertian yang ditunjukkannya sesuai dengan
struktur kalimat.
8. Pengetahuan tentang
prinsp-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, seperti ilmu qira’at,
sebab dengan ilmu ini dapat diketahui bagaimana cara mengucapkan
(lafazh-lafazh) Al-Qur’an dan ragam bacaan yang diperkenankan.
9. Pemahaman yang cermat
sehingga mufassir dapat mengukuhkan suatu makna atas yang lain atau
menyimpulkan makna atas yang sejalan dengan nash-nash syariat[8].
Sedangkan Adab
Mufassir antara
lain : (1) Berniat baik dan berujuan benar, sebab amal perbuatan itubergantung
pada niat. (2) Berakhlak Mulia, karena mufassir bagai seorang pendidik. (3)
Taat dan amal. Ilmu akan lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya
dari pada yang hanya hebab dalam teori dan konsep. (4) Jujur dan teliti dalam
Penukilan. (5) Tawaddu dan lemah lembut. (6) Berjiwa Mulia. (7) Berani dalam
menyampaikan kebenaran. (8) Bersikap tenang dan Mantap. (9) Mendahulukan orang
yang lebih utama dari dirinya[9].
Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an
menyebutkan syarat-syarat ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir
diantaranya adalah [10]:
1.
Bahasa Arab,
karena dengan bahasa arab seorang mufassir mengetahui penjelasan, kosa kata
suatu lafadz dan maksudnya sesuai dengan objek.
2.
Ilmu Qira’ah,
karena dengan ilmu tersebut dapat diketahu cara mengucapkan dan kuat tidaknya
model bacaan yang disampaikan antara satu qari’ dengan qari’
lainnya.
3.
Ushuluddin,
(prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Qur’an berupa ayat yang secara
tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah Ta’ala. Seorang
ahli ushul bertugas untuk menta’wilkan hal itu dan mengemukakan
dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
4.
Ushul Fiqih, karena dengannya dapat diketahui wajd
al-istidlal (segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan Istinbath.
5.
Asbaabun Nuzul, karena dengan ilmu ini dapat diketahui maksud
ayat yang sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
6.
An-Nasikh wa al-Mansukh, agar diketahui mana ayat
yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
7.
Ilmu muhibah, yaitu ilmu yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada
orang yang mengamalkan ilmunya.
Sebagaimana dalam sebuah
hadits disebutkan,
مَن عَمِلَ بـِــمَا
عِــلمٌ وَرثـــه الله علم ما لــم يــعـلم
“siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah
akan menganugerahinya ilmu yang belum ia ketahui”.
Ibnu
Abid Dunya menyatakan, “Ilmu Al-Qur’an dan Istinbath darinya merupakan lautan
yang tidak bertepi”.
Ilmu-ilmu di atas merupakan
alat bagi seorang mufassir. Seorang mufassir memiliki otoritas untuk menjadi
mufassir kecuali dengan menguasai ilmu-ilmu tersebut. Siapa saja yang
menafsirkan Al-qur’an tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut berarti dia
menafsirkan menafsirkan dengan ra’yu yang dilarang. Namun apabila
menafsirkan dengan ilmu-ilmu tersebut, maka dia tidak menafsirkan dengan ra’yu
yang dilarang.
3. Batasan-batasan Tafsir
Ibnu Abbas
memberikan batasan tafsir terdiri dari empat bagian:
1)
Tafsir yang dapat dimengerti secara umum oleh
orang-orang arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka
2)
Tafsir yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk
tidak mengetahuinya.
3)
Tafsir yang tidak diketahui kecuali oleh para Ulama.
4)
Tafsir yang tidak diketahui kecuali Allah. ( Shihab,
1999:77)
4. Contoh-contoh tafsir dalam Al-Qur’an
Dalam menafsirkan al-qur’an
Para sahabat berpegang pada tiga prinsip dasar yaitu:[11]
1.
Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Firman
Allah:
“Dia
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang
kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”(Q.S. Al-An’am
:103)
Ayat
diatas kemudian ditafsirkan oleh ayat yang lain
di dalam (Q.S. Al-Qiyamah :23):
إِلَى
رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (“ Kepada Tuhannyalah mereka melihat”.)
2.
Menafsirkan Al-Qur’an dengan As-As-sunnah. Firman
Allah:
إِنَّا
أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
“ Sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu Nikmat yang Banyak”(Q.S. Al-Kautsar : 1)
Ayat di atas dijelaskan
berdasarkan Hadits. Dari Anas, ia berkata Rasulullah bersabda, “Al-Kautsar
adalah sungai yang diberikan Tuhan kepadaku di surga”. Contoh tafsir 3.
Menafsirkan Al-Qur’an dengan pemahaman dan ijtihad para sahabat diantaranya, dari
Ibnu Abbas mengenai firman Allah. (Q.S. An-Nasr :1)
إِذَا جَاء
نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (“
Apabila telah datang pertolongan dan kemenangan”).
Ketika
Umar Ibn Khattab bertanya kepada Ibnu Abbas tentang maksud ayat di atas, dijelaskan
oleh Ibnu Abbas bahwa: ayat itu menunjukkan tentang ajal Rasulullah yang
diinformasikan Allah kepadanya (melalui ayat ini), “Apabila telah datang
pertolongan Allah dan kemenangan” –itu adalah tanda-tanda datangnya ajalmu,
wahai Muhammad- “Maka bertasbihlah dengan memuji tuhammu dan mohonlah
ampunannya-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat.” Lalu kata Umar,
“saya tidak mengetahui maksud ayat itu sebelumnya kecuali apa yang kamu katakan
itu.”(HR. Bukhari).[12]
Muhammad
Abu Shubbah dalam Maktabah As-Sunnah mengatakan bahwa : Tafsir sahabat
berdasarkan hukumnya terbagi menjadi dua bagian:
1.
Apabila termasuk perkara yang diluar
wilayah akal, misalnya perkara-perkara gaib, asbab an-nuzul, dan
sebagainya, maka hukumnya marfu’. Wajib mengambilnya.
2.
Apabila selain itu, yakni perkara
yang kembali pada ijtihad para sahabat, maka hukumnya mauquf selama
sanadnya tidak bersandar kepada Rasulullah SAW. Sebagian ulama mewajibkan untuk
mengambil tafsir sahabat yang mauquf kerena mereka menyaksikan korelasi
dan kondisi yang dikhususkan kepada mereka dan tidak dikhususkan kepada selain
mereka[13].
B. Ta’wil
1. Pengertian dan Definisi Ta’wil serta pendapat para ulama.
Kata Ta’wil adalah kata yang mengikuti wazan taf’il,
yang berasal dari kata al’aul, yang berarti al-ruju’ ( kembali);
dengan pengilustrasian bahwa, pentakwilan adalah mengembalikan sebuah lafal
terhadap salah satu makna diantara beberapa makna yang dikandung oleh lafal
dimaksud[14].
Menurut peristilahan syarah yang dikemukakan oleh
ulama usul fiqih, kata ta’wil mempunyai makna yang bereda dengan
tafsir dan hanya berkisar pada makna suatu lafazh, bukan lafazh itu sendiri.
Maksudnya, apabila terdapat beberapa kemungkinan makna dalam suatu lafazh maka
yang diambil adalah makna yang tersembunyi, bukan makna yang dzahir (
yang langsung ditangkap dari lafazh tersebut)[15].
Adapun ulama Salaf mendefinisikan ta’wil
sebagai berikut :[16]
a)
Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mushtashfa,
“sesungguhnya ta’wil itu adalah ungkapan tentang
pengambilan makna dari lafazh yang bersifat ihtimal yang didukung oleh dalil
dan menjelaskan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafazh
zahir”.
b) Imam Al- Amidi dalam kitab Al-Ihkam,
“ membawa makna lafazh zhahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada
makna lain yang didukung dalil”
c) Kaum Muhadditsin mendefinikan ta’wil, sejalan
dengan definisi yang dikemukakan ulama ushul fiqih, yaitu menurut Maznab
Khalaf, ta’wil adalah memalingkan lafazh dari zahirnya, karena ada dalil.
d) Abu Zahra, ta’wil adalah mengeluarkan lafazh
dari artinya yang zahir kepada makna yang lain, tetapi bukan zahirnya.
Menelaah diantara sekian gagasan ulama dalam
memberikan pengertian ta’wil, maka ada beberapa persoalan yang yang
menjadi penting. Pertama, dikatakan ta’wil bilamana lafaz yang
dijadikan objek kajian mempunyai makna lebih dari satu. Kedua, ada
ikhtiar untuk menentukan maksud lafaz yang menjadi objek kajian, diantara
sekian makna yang dikandung.
Ash Shiddieqy mengatakan : tiap-tiap lafaz yang
menunjukkan kepada suatu makna yang jelas yang diyakini bahwa itulah kehendak
Allah, tidak diperlukan ta’wil. Tafsir yang diyakini
hanya diketahui oleh Allah, itulah ijtihad (ta’wil)
mereka, itulah yang biasanya dikatakan takwil yaitu mengistinbatkan
hukum, mejelaskan yang umum, dan mengkhususkannya. Tiap-tiap lafaz yang
mengandung dua makna atau lebih, maka disanalah berlakunya ijtihad para ulama[17].
Dengan demikian, pengertian ta’wil adalah
kembali kepada asal usul sesuatu, apakah itu berbentuk perbuatan atau cerita.
Kembali ke asal usul dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan signifikansinya,
menjadikan ayat menemui akhir pemaknaannya, baik berupa hukum teoritis logis
maupun realitas objektif secara langsung dapat di indera. Ketika mentak’wilkannya,
dapat menghasilkan hukum yang sesuai dengan akal dan realitas[18].
2.
Syarat-syarat penta’wilan ayat-ayat Al-Qur’an.
Seseorang tidak dapat menggunakan ta’wil tanpa
didukung oleh syarat-ayarat tertentu. Al-Syatibi mengemukakan dua syarat pokok
bagi pen-ta’wilan ayat-ayat Al-Qur’an yaitu : pertama, makna
yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang
memiliki otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab Kalasik.
Bahkan lebih jauh As-Syatibi menegaskan bahwa kata-kata yang bersifat ambigu/musytarak
(mempunyai lebih dari satu makna yang kesemua maknanya dapat digunakan bagi
pengertian teks tersebut selama tidak bertentangan satu sama lain).
Aliran Tafsir Muhammad Abduh mengembangkan lagi syarat
pen-ta’wil-an, sehingga ia lebih banyak menggunakan akal, sedangkan
faktor kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan makna pen-ta’wil-an
dengan kata-kata yang di-ta’wil-kan.[19]
Quraish Shihab, menggarisbawahi bahwa tidaklah tepat
men-ta’wilkan suatu ayat, semata-mata berdasarkan pertimbangan akal dan
mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat di dalam teks ayat, lebih-lebih
bila bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah kebahasaan. Karena hal ini
berarti mengabaikan ayat itu sendiri. Disyaratkan
pula, bahwa lafaz itu memungkinkan untuk dita’wil karena memiliki jangkauan
makna yang luas, ada hal yang mendorong untuk ta’wil ( seperti: bentuk lahir
lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara dhoruri.
Contonya : suatu hadits menyalahi hadits lain, sedangkan hadits itu ada
kemungkinan untuk dita’wilkam, maka hadits itu dita’wilkan dari pada ditolak
sama sekali), ta’wil itu harus disandarkan pada dalil dan tidak bertentangan
dengan dalil yang ada.[20]
3.
Bentuk-bentuk Ta’wil
Pada prinsipnya para ulama sepakat adanya penggunaan ta’wil.
Perbedaan terletak pada kadar penggunaan dan penerimaannya dapat dilihat dari :
a.
Dari segi diterima atau tidaknya suatu ta’wil, ada dua bentuk ta’wil,
yaitu :
1)
Ta’wil maqbul yaitu ta’wil
yang memenuhi persyaratan seperti dijelaskan di atas.
2)
Ta’wil Mardud atau ditolak, yaitu ta’wil
yang hanya didasarkan kepada selera atau dorongann lain dan tidak terpenuhi
syarat yang ditentukan.
a.
Dari segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafazd yang dita’wilkan dari
makna dzahirnya:
1.
Ta’wil qarib, yaitu ta’wil
yang tidak jauh beranjak dari makna dzahirnya, sehingga dengan petunjuk yang
sederhana dapat dipahami maksudnya.
2.
Ta’wil ba’id, yaitu pengalihan
dari makna suatu lafadz yang begitu jaunya, sehingga tidak dapat diketahui
dengan dalil sederhana.
C.
Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
Para ulama berbeda pendapat dan tidak ada kesepakatan
dalam sebuah definisi tentang tafsir dan ta’wil. Sehingga sehingga Imam
Ibnu Habib al- Naisaburiy berkata : pada
zaman kita sekarang ini, banyak sekali para ahli tafsir yang ketika ditanya
tentang perbedaan Tafsir dan Ta’wil, niscaya mereka tidak dapat
menjelaskannya.[21]
Imam Qurthubi mengatakan bahwa: (1) Tafsir adalah
penjelasan tentang lafadz. Misalnya, firman Allah, Laa raiba fiihi (tdak
ada keraguan di dalamnya) dijelaskan maknanya dengan laa syakka fiihi
(tidak ada kebimbangan di dalamnya), Sedangkan ta’wil adalah penjelasan makna
yang dimaksud oleh lafadz, seperti firman Allah Laa raiba fiihi dita’wilkan
dengan “ tidak ada keraguan di kalangan kaum yang beriman, atau, karena ia
sendiri merupakan kebenaran dzat-Nya tidak mungkin dapat diragukan. (2) Tafsir,
menerangkan maksud yang ada pada suatu lafadz yang menghilangkan kesamaran arti
pada lafdz tersebut, sedangkan ta’wil menerangkan maksud yang ada pada
makna yang tidak ditunjukkannya secara zahir tetapi dikandung oleh lafadz
tersebut berdasarkan dalil yang mendukungnya.[22]
Para mufassirin telah berselisih tentang makna tafsir
dan takwil: Menurut Abu Ubaidah: Tafsir dan Ta’wil
satu makna.” Pendapat ini di bantah oleh para ulama yaitu diantaranya Abu Bakar
Ibnu Habib an-Naisaburiy. Berbeda dengan Al-Raghif Al-Ashfahani: “Tafsir itu
lebih umum dan lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal, sedangkan Ta’wil
lebih banyak dipakai mengenai makna dan susunan kalimat. Sedangkan
menurut sebagian ulama mengatakan bahwa “Tafsir menerangkan makna lafazh yang
tidak menerima selain dari satu arti. Sedangkan Ta’wil menetapkan makna
yang dikehendaki oleh suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna, karena ada
dalil-dalil yang menghendakinya, (Muhammad, 1987 : 173 )
Dari beberapa
pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan tafsir dan Ta’wil
yaitu:
1.
Tafsir pada umumnya lebih banyak dipergunakan dalam
menerangkan lafazh dan mufradat (kosakata), sedang Ta’wil lebih
banyak dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan kalimat.
2.
Tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam Kitabullah
karena maknanya telah jelas dan gamblang. Sedang Ta’wil adalah apa yang
disimpulkan para ulama.
3.
Tafsir menjelaskan
makna suatu ayat berdasarkan makna yang kuat. Sedang Takwil diartikan juga
sebagai memalingkan makna suatu lafazh dari makna yang kuat (ar-rajih) ke makna
yang kurang kuat (al-marjuh), karena disertai dalil yang menunjukan demikian
4.
Para ulama ada juga yang berpendapat bahwa tafsir
adalah penjelasan yang berdasarkan riwayah, dan Ta’wil berdasarkan
dirayah, ( Al-Qaththan, 2014 : 413).
Dengan berbagai perbedaan pendapat para ulama berkaitan dengan tafsir dan
ta’wil sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka dapat dirangkum dalam sebuah
tabel sebagai berikut :
Tabel perbedaan Tafsir dan Ta’wil
Tafsir
|
Ta’wil
|
||||
1
|
Pemakaiannya banyak pada lafadz-lafadz dan mufrodat
|
1
|
Pemakaiannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat
|
||
2
|
Kebanyakan jelas diterangkan dalam Al-Qur’an dan Hadits-hadits
shohih
|
2
|
Kebanyakan diistimbath oleh para ulama
|
||
3
|
Banyak berhubungan dengan riwayah
|
3
|
Banyak berhubungan dengan dirayah
|
||
4
|
Biasanya digunakan dalam ayat-ayat muhkamat ( jelas)
|
4
|
Biasanya digunakan dalam ayat-ayat mutasyabih
|
||
5
|
Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki
|
5
|
Menerangkan hakikat yang dikehendaki
|
||
Dari keterangan- keterangan di atas jelaslah bahwa tafsir
berdasarkan kepada makna dzahir lafdz harfiah ayat-ayat al-Qur’an. Walaupun ada
perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai makna tafsir dan ta’wil,
namun mereka tidak pernah mempersoalkan teks al-Qur’an sebagai Kalam Allah.
Kecuali orang-orang kafir dan para filosof-filosof barat yang selalu
mempersoalkan kemurnian al-Qur’an.
Kita sebagai orang Islam tidak akan pernah luntur keimanan kita terhadap
kemurnian Al-Qur’an dengan berlandaskan kepada Firman Allah dalam Al-Qur’an
Surat Al-Hijr : 9
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya”
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPILAN
Berdasarkan pembahasan
yang telah dipaparkan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa “Tafsir” adalah suatu usaha tanggapan,
penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyikapi nilai-nilai samawi yang terdapat
didalam Al-Qur’an. Sedangkan “Ta’wil” adalah suatu usaha untuk
memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan memahami
arti atau maksud sebagai kandungan dari lafazh itu.
B.
SARAN
Makalah yang
sederhana ini semoga menambah khazanah keilmuan kita. Walaupun disana sini
masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran sangat
diharapkan.
Semoga makalah
sederhana ini ada manfaatnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abu Syuhbah, Muhammad,
1408 H. KSA. Maktabah Assunnah
2.
Adian Husaini.”Firus
Abu Zaid di Indonesia” dalam pengantar: Salahudin, Henri. 2007. Al-Qur’an
Dihujat. (Al-Qalam. Jakarta).
3.
Al-Kattani, Abdul
Hayyie. “Alqur’an dan Tafsir” dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan (vol. I
No. 1 Januari 2005)
4.
Al-Qaththan, Manna
Khalil. 2014. Studi Ilmi-Ilmu Qur’an. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
5.
Ash
Shiddieqy, Hasbi . 2002. Ilmu-ilmu Al-qur’an. (Pustaka Riski Putra. Semarang).
6.
Ashiddieqy, Hasbi. 1989
Sejarah dan Pengantar ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Bulan bintang,
jakarta,
7.
As-Suyuthy, Jalaluddin.
Al-Itqan fi Ulum alqur’an. Bab. Ma’rifah Syuruth Al-Mufassir wa
Adaabihi E-book. Diakses dari Mauqi’ Umm Al-Kitab li Al Abhats wa
Ad-Dirasah Al-Hikturuniyah. www.omelkitab.net.
8.
Kamus Besar
Bahasa Indonesia. (Edisi ke-4).
9.
M. Husain
al-Zahabiy. 1961. At-Tafsir wa Al-Mufassirin. (Dar al-Kutub al-Haditsh.
Mesir. Jilid I
10. Muhammad Hasbi.1987. Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Pustaka Rizki Putra,
Semarang.
11. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, ( Percetakan
al-Manar, 1367 H), jilid III,
12. Nasir Hamid Abu Zaid. 1993. Tektualitas
Al-Qur’an”kritik terhadap Ulumul Qur’an”
(LKIS.
Yogyakarta).
13. Rifat Syaiqi Nawawi dan Muhammad Ali Hasan. 1995. Pengantar
Ilmu Tafsir, ( Bulan Bintang: Jakarta)
14. Shihab, M. Quraish, 1999. Membumikan Al-Qur’an. Mizan, Bandung.
15. ________________, 2007. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. (Mizan. Bandung).
[1] M. Quraish Shihab. 2007. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. (Mizan. Bandung). Hal. 112.
[2] M. Husain al-Zahabiy. 1961. At-Tafsir wa Al-Mufassirin. (Dar al-Kutub al-Haditsh. Mesir. Jilid I). hlm. 59.
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Edisi ke-4). hlm. 1373.
[4] Nasir Hamid Abu Zaid. 1993. Tektualitas Al-Qur’an”kritik terhadap Ulumul Qur’an” (LKIS. Yogyakarta). Hal. 284-285.
[5] Syaikh Manna Al-Qhaththan. 2014. Pengantar studi Ilmu Al-Qur’an, (Puataka Al-Kautsar. Jakarta Timur). Hal. 409.
[6] Idem
[7] Adian Husaini.”Firus Abu Zaid di Indonesia” dalam pengantar: Salahudin, Henri. 2007. Al-Qur’an Dihujat. (Al-Qalam. Jakarta). halm. 48-49.
[8] Syaikh Manna Al-Qhaththan. 2014. Pengantar studi Ilmu Al-Qur’an, (Puataka Al-Kautsar. Jakarta Timur). Hal. 414-117.
[9] ibid.
[10] As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqan fi Ulum alqur’an. Bab Ma’rifah Syuruth Al-Mufassir wa Adaabihi E-book. Diakses dari Mauqi’ Umm Al-Kitab li Al Abhats wa Ad-Dirasah Al-Hikturuniyah. www.omelkitab.net.
[11] Syaikh Manna Al-Qhaththan. 2014. Pengantar studi Ilmu Al-Qur’an, (Puataka Al-Kautsar. Jakarta Timur). Hal. 422-424.
[12] Syaikh Manna Al-Qhaththan, op.cit, hal.448
[13] Abu Syuhbah, Muhammad, 1408 H. KSA. Maktabah Assunnah
[14] Al-Kattani, Abdul Hayyie. “Alqur’an dan Tafsir” dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan (vol. I No. 1 Januari 2005) hal.101.
[15] Adian Husaini, loc. cit.
[16] Rifat Syaiqi Nawawi dan Muhammad Ali Hasan. 1995. Pengantar Ilmu Tafsir, ( Bulan Bintang: Jakarta). hal.139
[17] Muhammad hasbi Ash Shiddieqy. 2002. Ilmu-ilmu Al-qur’an. (Pustaka Riski Putra. Semarang). hal.215.
[18] Ibid.
[19] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, ( Percetakan al-Manar, 1367 H), jilid III, hal. 95
[20] M. Quraish Shihab, op.cit. hlm. 138
[21] Idem
[22] Al-Qurthubi, al-Jami’li Ahkamil Qur’an, jilid IV,hlm. 15-16, sebagaimana dikutip oleh Andian Husaini, op.cit.hlm. 46-47